Pengangkatan Tenaga Honorer K 2 sebagai PNS
Quo Vadis Penataan Tenaga Honorer
(itu termasuk) Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Suatu tantangan bagi
Dinas Pendidikan
BKD Kabupaten Ponorogo
Dan Pasangan ADA
Oleh : Rochmadi “Soni PNS Raja Gugat” Sularsono
SK Pengangkatan Honorer K 2 Kab Ponorogo Ceroboh
Akhir akhir ini mungkin tiada yang lebih termehek-mehek
selain nasib tenaga honorer Dinas
Pendidikan Kabupaten Ponorogo. Tangisan nan menghiba yang ditulis dalam
Ponorogo Pos oleh sdr Dwi Wahyu Nugroho S. Pd seolah tidak berguna. Tulisan itu
berjudul Pemerintah harus Perjelas Nasib GTT/PTT Non katagori (Ponorogo Pos no
658 Tahun XIV halaman 9).
Secara gampang tema tulisan itu adalah perhatiin donk nasib (guru) honorer. Masih
juga ada imbuhan nesu semi mengancam atau mengecam
(?). Terbukti pada alinea akhir yang intinya upaya hukum supaya jangan
sampai dilakukan oleh pendidik. Hanya sayangnya dalam beberapa hal pada tulisan
itu kurang kajian hukum agar yang diharapkan bisa terpetakan
dengan jelas.
Permasalahan yang dikupas dalam rintihan
itu mulai saja dari alinea empat terutama frasa kata proses uji publik belum
jelas. Tidak pernah ada proses uji publik bilamana suatu undang undang sudah
disahkan. Bilamana yang dimaksudkan adalah upaya judicial review pada Mahkamah Konstitusi
memang benar.
Urgensi utama upaya uji materi adalah
justru memberikan landasan yang kokoh agar yang utama pengangkatan tenaga
honorer K 2 yang lulus tes menjadikan kokoh termasuk juga pelamar umum yang
ditempatkan pada daerah provinsi serta kabupaten/kota.
Kesalahan mendasar SK pengangkatan mereka
yang honorer K 2 yang lulus tes pada kabupaten Ponorogo tertera pada Rujukan hukum yang digunakan. Perhatikan
konsiderans pada kata “menimbang”. Tertulis disitu UU 5/2014 tentang
ASN. Penggunaan UU ASN jelas salah karena dalam UU ASN tidak terdapat
perkenan mengangkat pegawai dengan cara seperti itu.
Pasal 139 dan 136 UU 5/2014 mencabut UU
43/1999 tentang Perubahan UU 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian. Produk
hukum ini diantaranya melahirkan PP 48/2005 dengan segala perubahannya termasuk
perubahan yang terakhir PP 56/2012. Ketiga PP itu yang merupakan dasar
pembenar pengangkatan K2.
Pasal 139 UU 5/2014 tentang ASN tertera
jelas terutama frasa kata “semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan UU 43/1999 jo 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian,
dinyatakan masih tetap berlaku, dst”
Frasa itu bisa merupakan pembenar pengangkatan tenaga honorer K 2
sebagai CPNS karena produk hukum yang relevan salah satunya adalah PP 56/2012.
Namun frasa kata berikutnya yang
dimungkinkan membatalkannya sebab lanjutan frasa kata di atas adalah frasa kata “sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini”. Fakta yang
ada belum ada Peraturan Pelaksana yang menggantikannya sehingga sah
bilamana tidak bertentangan dengan Undang Undang ASN. Permasalahannya pada
adanya pasal 136 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU 43/1999
jo 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian.
Kedua Undang undang di atas yang memberi
kewenangan Pemerintah untuk mengangkat langsung Pegawai Negeri Sipil (ayat
(1) pasal 16 A UU 43/1999). Bilamana kedua UU itu dicabut maka menjadi tidak
ada kewenangan pemerintah untuk mengangkat langsung Pegawai Negeri Sipil.
Artinya asas legalitas meniadakan kewenangan presiden (pemerintah)
untuk mengangkat “langsung”.
Batasan “langsung” bisa saja
diperdebatkan mengingat mereka di tes sebelumnya. Namun benang merahnya ada
pada tidak lagi ada “keistimewaan” yang memperkenankan pemerintah
untuk mengistimewakan mereka yang
tergolong honorer K 2. Perlakuan istimewa itu tampak pada nilai yang diperoleh dibandingkan
dengan kelompok mereka sendiri bukannya dengan pelamar umum, serta
usia yang lebih luwes bilamana dibandingkan dengan pelamar umum Keistimewaan seperti
itu tidak lagi terdapat pada UU 5/2014.
Tidak bisa mengandalkan PP 48/2005 dengan
segala PP yang merubahnya (terakhir PP 56/2012. Sebab walau terdapat ketentuan
terutama frasa kata “semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari UU 8/1974 sebagaimana yang diubah pada UU 43/1999 tentang pokok pokok
kepegawaian dinyatakan masih tetap berlaku, dst” seperti pada pasal 139 UU
5/2014 tentang ASN tetap tidak bisa dijadikan pembenar. Karena frasa
kata berikutnya adalah “tidak bertentangan dan belum diganti dengan undang
undang ini”.
Intinya memang sudah terjadi pergantian
undang-undang. Ada kepastian hukum karena tidak lagi terdapat
perkenan pemerintah mengangkat langsung pegawai seperti pada UU 43/1999 yang merupakan
perubahan UU 8/1974. Pasal 136 UU ASN mencabut dan menyatakan tidak berlaku
lagi. Sehingga pengangkatan Honorer yang tergolong K 2 penulis anggap cacat hukum. Kepastian
cacat hukum atau tidak akan terbukti berdasarkan putusan hukum Peradilan Tata
Usaha Negara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Kesalahan dasar hukum berikutnya ada pada
penggunaan UU 32/2004. Seperti yang diketahui bersama pasal 137 UU 5/2014 tentang
ASN mencabut bab V UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur Manajemen
Kepegawaian Daerah. Salah satu ayat/pasal pada bab V UU 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Ayat (2) pasal 129 bab V UU 32/2004 tentang Pemda terutama
frasa kata “… gaji, … kedudukan hukum, dst” telah tidak lagi memiliki
kekuatan hukum mengikat.
Upaya Judicial Review penulis dan
kawan-kawan agar para CPNS yang ditempatkan pada Daerah serta honorer K 2
yang lulus bisa memiliki payung hukum yang kokoh, bukannya meniadakan
kesempatan mereka sebagai PNS.
Kedudukan hukum merupakan suatu hak yang melekat pada
misalnya pejabat untuk melakukan tindakan hukum. Maka bilamana Hak hukum
itu tercabut sangat tidak benar bilamana Ka BKD menandatangani SK
Bupati tersebut.
Hal yang sama pada gaji misalnya. UU
32/2004 mengaitkan dengan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat
dan Pemerintah Daerah. itulah bagian yang dihilangkan oleh pasal 137 UU 5/2014.
Gaji merupakan bagian yang diatur pada bagian manajemen kepegawaian daerah pada
ayat (3) pasal 134 UU 32/2004. Memang telah terbit aturan baru yang menaunginya
hanya saja aturan itu disahkan tanggal 30 September 2014 dan diundangkan
tanggal 02 bulan 10 tahun 2014 (UU 23/2014 tentang Pemda)
Relevansinya pada tanggal SK itu disahkan,
sebelum Undang Undang tentang Pemerintah Daerah diberlakukan ataukah sesudah pemberlakuan UU 23/2014. Bilamana
diterbitkan di atas tanggal 02 Oktober 2014 maka semakin tidak teliti yang
dilakukan Ka BKD padahal ketelitian merupakan asas yang harus dipenuhi agar
terbentuk tata kelola pemerintahan yang baik.
Ketiga pasal di atas (pasal 139, 137 dan
136 UU 5/2014) yang penulis mohonkan untuk putusan sela mengingat
urgensinya. Tentu saja semoga dikabulkan. Artinya bila asumsi penulis (dkk)
mengenai kesalahan ketiga pasal itu benar maka pengangkatan tenaga honorer K
2 sebagai PNS atau CPNS baru yang
penempatanya pada Daerah bilamana dibawah tanggal 02 Oktober 2014 tidak akan
cacat hukum.
Arti lain akan terdapat perkenan pemerintah
untuk mengangkat tenaga honorer kembali dengan segenap varians pengangkatannya
(langsung sebagaimana dokter dan/atau bidan), atau di uji dengan pembanding
sesama tenaga honorer serta rentang usia yang lebih luwes.
Implikasinya selama belum ada putusan
berkaitan dengan uji materi pada Mahkamah Konstitusi, maka selama itu pula UU
5/2014 masih memiliki kekuatan hukum mengikat. Akan cacat hukum yang
dimungkinkan berimplikasi pidana sebagaimana komentar Ka BKN beberapa saat yang
silam bilamana ada pengangkatan honorer K 2 baik yang lulus maupun yang
tersisa. Cabut dulu pasal 136, 137 dan 139 UU 5/2014 tentang ASN.
Khususnya frasa kata “pemerintah dapat mengangkat langsung menjadi Pegawai
Negeri Sipil, dst” seperti yang ada pada pasal 16 A UU 43/1999 yang relevan untuk tetap hidup. Bilamana
masih tetap menggunakan UU 5/2014 tanpa pencabutan ketiga pasal di atas, usahlah berharap bagi tenaga honorer terlebih
bilamana sudah pada usia kritis (35 tahun).
Be Smart and be Wisdom
Kesalahan tulisan sdr Dwi Wahyu N pada alinea 6 (enam). Alinea enam ada pada
kolom dua. Kesalahannya Terutama pada frasa kata “Pemerintah mengeluarkan
surat edaran tentang larangan sekolah mengangkat tenaga honorer” (baris
keenam alinea dua). Sekolah bisa dibagi dua atas dasar siapa yang
mendirikannya. Salah satu pendirinya adalah masyarakat. Tidak ada kewenangan
pemerintah melarang sekolah yang didirikan masyarakat mengangkat tenaga
honorer.
Kewenangan pemerintah yang ada pada sekolah
yang didirikan masyarakat pada jaminan kepastian hukum berkaitan hak
normatif yang melekat pada setiap pekerja termasuk tenaga honorer (tenaga
Kontrak/tenaga dengan Perjanjian Kerja entah bermodelkan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu ataupun Perjanjian Kerja Waktu
Tak Tertentu) dan harus diikat dengan kontrak kerja.
Namun bilamana yang dimaksudkan sdr Dwi
Wahyu N adalah sekolah Negeri tetap saja cacat hukum. Belum ada
ketentuan yang mencabut ayat/pasal/bagian pengangkatan tenaga pendidik dan
kependidikan oleh satuan pendidikan (baca sekolah). Contohnya bisa dilihat
seperti yang diatur dalam ayat (2) pasal 41 UU 20/2003 terutama frasa kata “diatur
oleh lembaga yang mengangkatnya, dst”.
Aturan berikutnya yang terlanggar adalah
ayat (2) pasal 15 UU 14/2005 tentang Guru dan dosen terutama pada frasa kata “Guru
yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau
pemerintah daerah, dst”. Ayat/pasal pada UU 14/2005 menyebabkan bilamana
ada aturan dibawah undang undang yang melarang pengangkatan guru oleh satuan
pendidikan yang didirikan Pemerintah atau pemerintah daerah maka siapapun
pembuatnya jelas bertentangan dengan undang undang artinya tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat.
Permasalahan yang paling krusial bukanlah membuat aturan baru
berkaitan dengan pengaturan hak normatif GTT dan/atau PTT. Tidaklah berdasar
hukum menggugat hak normatif GTT/PTT. Jaminan hukum hak normatif
yang melekat pada GTT sangatlah memadai. Permasalahan yang lebih penting adalah
kejelasan makna Gaji yang sesuai
peraturan perundang-undangan (lihat ayat (2) pasal 15 UU 14/2005). Artinya
penghasilannya harus diatas kebutuhan hidup minimum (lihat ayat (1)
pasal 15 UU 14/2005). Makanya menjadi relevan pengaturan batas minimal
Upah/gaji yang harus mereka terima.
Itulah hak normatif yang melekat pada pekerja non PNS apapun
statusnya (baik K 2 maupun K non katagori.. Baik Pendidik maupun Tenaga
Kependidikan. Tidak perlu peraturan Menteri (Pendidikan) demikian ujar
Mendiknas beberapa saat yang silam. Pernyataan itu memang benar karena
itulah kewenangan milik Pemda.
Setiap kepala sekolah yang mempekerjakan
Tenaga pendidik dan Tenaga Kependidikan non PNS wajib membuatkan
kontrak kerja yang ditandatangani oleh satuan pendidikan baik yang didirikan
Pemerintah atau Pemerintah Daerah (lihat ayat (2) pasal 170) PP 66/2010
yang merupakan perubahan atas PP 17/2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan. Aturan ini wajib dipatuhi agar melindungi tenaga
Pendidik dan Kependidikan non Pegawai Negeri Sipil yang bekerja pada satuan pendidikan yang
didirikan pemerintah atau pemerintah daerah dengan cara memiliki payung hukum
yang kokoh berupa kontrak kerja.
Mayoritas Tenaga Pendidik dan Kependidikan
yang non PNS dan bekerja pada satuan pendidikan dan/atau lembaga pemerintah
tidak memiliki kontrak kerja yang dimaksud. Penulis yang merupakan
Koordinator Forpimmisa (Forum Pimpinan Implementasi Membumikan
Kepastian Hukum dan peduli Honorer bermoto Mitreka Sathata)
memperjuangkan agar Tenaga Pendidik dan Tenaga kependidikan serta Tenaga
Kesehatan yang ada pada Puskesmas memperoleh kontrak kerja terlebih dahulu
walau harus sekali lagi bertarung pada lembaga peradilan dalam hal ini Ombudsman
Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur di Surabaya.
Lupakan dahulu sejenak perjuangan
sertifikasi dan/atau gaji seperti yang diperjuangkan PGRI (lihat alinea 8) terhadap GTT. Bilamana
benar, maka PGRI agaknya lalai pada nasib Tenaga Kependidikan, Tertera
jelas pada huruf (e) ayat (3) pasal 34 PP 17/2010 Pemerintah Kabupaten/kota
wajib memfasilitasi sertifikasi Tenaga Kependidikan. Sudah masanya prinsip
justice for All dibumikan di Persada tercinta ini. Prinsip ini yang
diperjuangkan pula oleh Forpimmisa walau harus sekali lagi bertarung pada
lembaga Peradilan.
Intinya secara langsung Pemda wajib mengimplementasikan
semua kewajiban sebagaimana yang tertera pada suatu produk hukum yang lebih
tinggi. Itulah esensi sumpah jabatan Bupati dan wakilnya yaitu menjalankan
peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya. Bilamana tidak
melakukannya dalam konteks ini maka tindakannya setara dengan bentuk
Pembangkangan Hukum.
Contoh Pembangkangan Hukum adalah terbitnya
Surat Perintah Kerja Bupati Ponorogo Nomor
: 800/21/405.18/2014. Banyak keganjilan yang ada pada SPK tersebut. Keganjilan
yang teramat memalukan. Pada Konsiderans pada kata “dasar” terdiri
dari 3 (tiga) nomor. Rujukan hukum nomor 1 (satu) adalah penggunaan UU 43/1999
jo UU 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Rujukan hukum nomor dua
menggunakan UU 13/2003 hanya saja dikemas dalam mengacu aturan Gubernur dan
rujukan hukum 3 mendasarkan pada kontrak kerja bersama antara sekelompok
pekerja dengan Bupati yang dilakukan pada tanggal 02 Januari 2014.
SPK Memalukan Bupati nan Kaya Masalah
Walau ditetapkan pada tanggal 15 April 2014
namun pemberlakuannya dihitung mundur yaitu pada tanggal 02 Januari 2014. Alasan
pembenarnya pastilah dasar hukum ketiga yaitu tanggal terteranya pembuatan
kontrak bersama antara pekerja dengan Bupati sebagai pemangku daerahnya. Minteri yang tidak
cerdas sama sekali.
Ada dua keuntungan membuat dasar hukum UU
43/1999 jo 8/1974 bukannya UU 5/2014 bilamana mengacu pada tanggal
ditandatanganinya SPK tersebut. Pertama, tidak terkena larangan ayat (1) pasal
94 UU 5/2014 tentang ASN yang bunyi selengkapnya adalah “jenis jabatan yang
dapat diisi PPPK diatur dengan Peraturan Presiden”. Peraturan Presiden
berkaitan dengan PPPK belumlah ada.
Pemda terhindar dari masalah dasar hukum
hak normatif yang melekat pada PPPK bilamana menggunakan UU 5/2014 padahal
aturannya pada saat SPK itu ditandatangani masih belum ada (bahkan hingga sekarang
saja belum ada) belum lagi masalah berkaitan dengan pengadaan PPPK yang
harus dengan tes terlebih dahulu.
Pada nomor 2 (dua) tertera rujukan hukum
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur nomor 188/309/KPTS/013/2007
tentang UMK di Jatim tahun 2008. Rujukan hukum itu pastilah menggunakan dasar
ayat (3) pasal 89 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terutama pada frasa kata
“…. Dan/atau Bupati/walikota.” Kesalahan yang ada pada penggunaan UMK
tahun 2008 bukannya 2014 padahal tahun pembuatannya adalah tahun 2014.
Kesalahan yang disengaja agar membayar upah yang murah karena hanya wajib
membayar Rp 500.000,00/bulan/per pekerja
bukannya Rp 1.040.000,00 bilamana menggunakan perhitungan UMK tahun 2014.
Tidak
ada dasar hukum yang bisa digunkan sebagai pegangan pembayaran upah dengan
menggunakan standar mundur seperti itu. Tindakan itu bukanlah cerdas, namun
lebih merupakan tindak penyelundupan hukum. Esensi relasi industrial
Pancasila adalah terpenuhinya hak normatif yang dimiliki setiap pekerja dan
menghindarkan pekerja dari kesewenang-wenangan pemberi kerja.
Keruwetan berikutnya adalah pada lampiran SPK. Nama-nama yang tercantum sejumlah 94 nama. Variasi usia
beragam dan tingkat pendidikannya mulai dari SD hingga Sarjana. Upah yang
diterima kesemuanya rata yaitu Rp 500.000,00 (setara UMK tahun 2008, bilamana
menggunakan UMK 2014 sebesar Rp 1.040,000,00).
Bilamana dihitung kekurangan upah mereka
setidaknya menjadi 94 X Rp 500.000 atau setara Rp 50,760.000,00 per bulan.
Setahun kekurangan gaji yang harus dibayar Pemda Kab Ponorogo menjadi minimal
Rp 598.120.000,00 per tahun. Perhitungan itu tanpa mempertimbangkan kenaikan upah karena
lama pengabdian serta tingkat pendidikan.
Hitungan di atas nampaknya sudah benar
padahal tidak jua. Kesalahan yang ada pada masih ada yang lulusan SD/SMP (13
orang pekerja). Gaji yang mereka terima seharusnya berbeda. Itulah sisi humanitas
dan keindahan cinta yang ditunjukkan Pasangan ADA yaitu tetap mempekerjakan
mereka walau usia sudah senja. Suatu hal yang sangat patut untuk dilembagakan.
Namun yang lulusan SLTA atau lebih tinggi
tidaklah bisa diperlakukan sama dengan yang SLTP atau lebih rendah. Biasanya
mereka yang berpendidikan menengan atas atau yang lebih tinggi difungsikan
sebagai tenaga administrasi atau tenaga teknis strategis atau bidang medis.
Mereka yang pada bidang medis dan latar
belakang pendidikannya tenaga medis misalnya, memiliki perhitungan tersendiri dan seharusnya
tidak terdapat perkenan mengangkat mereka dengan perjanjian kerja waktu
tertentu karena sifat kerjanya tetap (ayat (2) pasal 59 UU 13/2003). Bisa
saja mereka semua diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu asal saja
pekerjaan yang penyelesaiannya sementara sifatnya dan paling lama 3 (tiga)
tahun (lihat huruf (b) ayat (1) pasal 59 UU 13/2003). Namun terjebak pada
penggunaan dasar hukum UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang selalu mengacu
pada UMK. Kontrak kerja yang jelas, masih juga disibukkan dengan batas
maksimal perpanjangan kerja.
Perpanjangan masa kerja bagi mereka bilamana
diperpanjang harus melewati masa jeda 30 hari perjanjian kerja yang lama dan
paling lama 2 (dua) tahun (ayat (6) Pasal 59 UU 13/2003). Setelah itu masa
Perjanjian kerjanya berakhir. Pada
lampiran kolom akhir terdapat keterangan berdasarkan Surat Perintah kerja
Bupati Nomor : 800/123/405.18/2013 tertanggal 16 April 2013. Keterangan itu
menambah panjang keruwetan serta pengawuran yang ada.
Logika sehat yang ada perpanjangan mereka
tidklah bulan April. Harusnya bulan Jabuari (karena yang ada pada RSUD
mayoritas tergolong K 2) dan nama yang sudah lulus memang dimaksudkan untuk “membenarkan”
fakta hukum perjanjian perpanjangan kerja bersama itu ditandatangani tanggal
2 januari 2014 ketika K 2 yang lulus masih belum lulus ketika itu.
Namun nama-nama K 2 yang ada bilamana
mempertimbangkan keterangan berupa SPK bupati sebelumnya (tahun 2013)
menjadikannya patut dipertanyakan sebab yang tergolong K 2 pastilah dimulai
tanggal 03 Januari 2005 karena mereka ada berkat terbitnya PP 48/2005. Jadi
sangat tidak masuk akal bilamana SPK Bupati tertandanya menjadi Bulan April
2014.
Itulah keruwetan yang ditimbulkan sebagai
akibat SPK yang tidak diteliti oleh kedua belah pihak. Bagian ini yang harus bisa
dijelaskan oleh pasangan ADA sebagai perwujudan asas keterbukaan yang
merupakan hak yang dimiliki warga Ponorogo. Penjelasannya harus pula mampu
menjawab mengapa harus ada pemilahan sehingga tidak tepat dengan jumlah yang
ada pada jawaban FPGIS yang tentunya jumlah tenaga honorer K 2 masih lebih dari
500 pekerja, kemana kelompok tenaga pendidik dan kependidikan kala SPK itu
dibuat.
Tidaklah mudah menguraikan permasalahan
yang ada pada pekerja honorer K 2 yang tertera pada SPK “bodoh” yang
terlanjur terbit dan diketahui publik secara luas. Kerumitan lainnya pada lama
pengabdian. Lama Pengabdian yang membuat mereka semua tidak mudah dipetakan
hubungan kerja berkaitan dengan status kepegawaiannya. Penyebabnya justru pembangkangan
hukum karena menggunakan tenaga kerja itu lebih dari tiga tahun yang
sudah seharusnya berubah menjadi Pegawai dengan Perjanjian Kerja Waktu Tak
Tertentu atau Pegawai Tetap (lihat ayat (7) pasal 59 UU 13/2003). Instansi
Pemerintah tidaklah memperkenankan adanya pegawai tetap non PNS. Yang
ada hanya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dan PNS (pasal 6 UU
5/2014 tentang ASN) bilamana mengacu pada UU ASN.
Bilamana meneliti lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan SPK tersebut, tidak ada diferensiasi upah berdasarkan
tingkat pendidikan. Tidak ada diferensiasi upah atas dasar tingkat pendidikan
jelas bentuk pembangkangan hukum karena bertentangan dengan ayat (1)
pasal 92 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Utamanya pada frasa kata ”… struktur
dan skala upah dengan memperhatikan … masa kerja, pendidikan dan
kompetensi”.
Pada lampiran itu tertera dinas/instansi
pemerintah penempatan tenaga kerja itu. Janganlah mencoba mencari Tenaga
Pendidik atau Kependidikan pada lampiran SPK Bupati Ponorogo karena jelas
tidak mungkin ada.
Kritik terakhir pada alinea terakhir tulisan
anda, khususnya pada frasa kata “aturan yang tidak pasti”. Aturan yang
ada sudah pasti, hanya pada implementasinya yang masih harus diperjuangkan. Sungguh
itu tugas kita semua demi perwujudan good and clean corporate governance.
Mungkin bernuansa menentang aturan/produk hukum atau kebijakan yang dibuat
Pemerintah Daerah.
Perlu digaris bawahi bahwa tidak setiap tindakan
yang menentang Produk hukum/kebijakan Pemerintah Daerah melalui lembaga
peradilan berarti menjadi manusia yang tidak tahu tata krama, masih harus
dilihat konteksnya. Itulah esensi masyarakat madani, anda setuju ???
Bagi Pasangan ADA justru di akhir masa
jabatannya, sangatlah elok bilamana mendudah aturan yang selama itu menjadi
kesalahannya sebagai akibat ulah eselon II.b yang merupakan pilihannya sendiri. Contoh yang
perlu disikapi hingga menjadikan sebuah pernyataan yang bernas adalah
memperjelas perbedaan antara yang diungkap Dinas Pendidikan dengan satuan
kerja/badan yang lain.
Menurut Dinas Pendidikan, Jumlah Tenaga
Pendidik dan Kependidikan Kab Ponorogo sejumlah 318 orang (lihat jawaban
Dinas Pendidikan yang ditujukan pada FPKB nomor satu pada Jawaban dan
Penjelasan Bupati atas Pandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap Raperda APBD Kab
Ponorogo 2015).
Ka BKD dalam jawaban yang ditujukan pada
Fraksi GPIS seluruh K 2 yang tidak lulus sejumlah 336 orang baik guru (yang
“hanya” 228 (4 tidak melakukan Verval) maupun Pegawai Teknis serta Tenaga
Kesehatan dengan tambahan 10 orang diantaranya tidak mengikuti proses verval.
Dua pernyataan dari jajaran pasangan ADA
akan menciptakan masalah. Utamanya kejelasan. Publik Ponorogo tentu butuh
keterbukaan agar kontroversi ungkapan kedua kepala satuan kerja di atas bisa
terurai dengan lebih jelas dan akurat.
Bilamana dibandingkan dengan surat kabar,
pernyataan Ka BKD lebih membingungkan lagi. Ka BKD mengaku membutuhkan Tenaga
Guru SD sejumlah 1240 orang (Radar Ponorogo halaman 37 dan 39, Tanggal 05
Desember 2014). Kalimat ini bisa
diartikan jumlah tenaga honorer guru SD sejumlah 1240 orang dan beberapa
diantaranya adalah K 2 yang tidak lulus tes. Tidak jelas apakah jumlah yang
bedanya terlalu jauh dengan data Dinas Pendidikan itu menunjukkan
ketidakbecusan melakukan koordinasi dan sinkronisasi ataukah karena alasan
lainnya sehingga ketika mengumumkan pada publik angka yang beredar njomplang.
Penjelasan Ka BKD nampaknya pada upaya
menunjukkan perjuangan yang “nakal” untuk menambah pegawai (menambah PNS
berarti mengurangi beban APBD karena memberi honor K 2). Tapi janganlah senang
dulu bagi GTT K 2 karena atas nama UU 5/2014 nasib anda tidaklah semulus yang
akan anda harapkan. Pasal 139 UU 5/2014 khususnya frasa kata “sepanjang
tidak bertentangan, dst” penghambatnya.
Frasa kata itulah yang menghambat penerapan
Peraturan Pelaksana UU 43/1999 jo 8/1974. Misalnya PP 56/2012 yang merupakan
dasar pengangkatan anda. PP 56/2012 merupakan perubahan kedua PP 48/2005.
Produk hukum itu diciptakan ketika masih berlakunya UU 43/1999 jo 8/1974.
Keistimewaan kedua produk hukum itu pada kewenangan pemerintah mengangkat
langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil. Bilamana anda beranggapan K 2 di uji
maka masalah yang mengganjal berikutnya adalah pembandingnya mengapa harus
khusus serta mengapa batas usianya harus luwes (bisa lebih dari 35 tahun).
Kebijakan itu masih mengundang kontroversi
hukum. Sifat kebijakannya masih debatable. Bagi yang GTT k 2 tunggu saja belas kasihan
Pemerintah bersama legislatif agar berkenan mengabulkan permohonan MK
Forpimmisa, atau semoga saja para hakim agung Mahkamah Konstitusi berkenan
mengabulkan gugatan pada pasal 139/ 137 dan 136 UU 5/2014 tentang ASN, Bravo
Forpimmisa !
Atas dasar paparan
diatas jelas bahwa kebijakan penanganan GTT/PTT Pemda Kab Ponorogo masihlah amburadul
dan masih tidak jelas arah kebijakannya dalam mensejahterakan K 2. Belum lagi
yang tergolong Honorer pasca terbitnya PP 48/2005 yang bilamana memperhatikan komentar pemangku
jabatan tinggi beserta top eksekutif yang
masih suka memelintir berita tergantung kepentingannya kala berbicara pada
publik. Pekerja Honorer apapun katagorinya, mereka semua tentunya berharap
kepastian karier berlandaskan payung hukum yang kokoh serta hak normatif yang
melekat pada GTT/PTT terpenuhi agar mereka semua bisa tenang dalam berkarya. Hentikan
mempermainkan nasib mereka !!! Finally
buat Pasangan ADA berkaitan dengan kebijakan GTT/PTT tumbuh sebuah ta